Novel Salah Pilih Karya Nur Sutan Sutan Iskandar diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta tahun 1986 pada cetakan ke sebelas. Satra “Salah Pilih” karya Nur Sutan Iskandar merupakan sebuah sastra yang klasik dalam hal isi, karena di dalamnya terdapat gambaran lengkap perasaan seseorang lengkap dengan liku-liku dalam kehidupannya, baik kasih saying, cinta, cemburu, dendam, dan perasaan-perasaan yang umum yang dimiliki oleh manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan.
Pengarang sastra ini sangat jeli dan cermat serta teliti dalam menceritakan urutan-urutan kejadian, hal ini merupakan gambaran dari pengarangnya yang berjiwa jujur dan matang, lebih-lebih dalam bidang agama dan adat. Penggunaan bahwa dalam sastra “Salah Pilih” juga sederhana walaupun nbahasa yang digunakan di dalamnya banyak dipengaruhi oleh dialek Minangkabau, tetapi dalam memahaminya tidak mengalami kesulitan yang berarti , sehingga mampu membangkitkan imajinasi pembacanya.
Pada bagian pertama ceritanya suatu keluarga yang mengambil anak angkat bernama Asnah, yang mempunyai sifat yang baik, telaten, cermat, dan ikhlas dalam menjalani kehidupan, sehingga ibu angkatnya sangat kasih dan sayang kepadanya, sama yang dilakukan terhadap anak kandungnya sendiri yang bernama Asri. Hubungan yang terjalin sangat harmonis, gelak tawa dan canda selalu mewarnai di setiap hari-harinya. Perbedaan derajat dan keturunan tidak menjadi hambatan dalam menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Asnah adalah gadis cantik, mukanya bulat penuh kemerah-merahan, matanya riang bersinar-sinar, alisnya tebal dan hitam, rambutnya panjang berjalin dan terjuntai ke belakang hingga ke bawah pinggangnya. Asnah putra ST. penghulu yang tidak mematuhi adapt negeri, karena di negerinya seorang lelaki berkedudukan harus menikah lebih dari satu, tetapi hal itu bertentangan dengan pendapat St. penghulu, akibatnya St. penghulu dikeluarkan dari keluarganya dan modal dari pihak St. Penghulu diambil kembali, sehingga St. Penghulu kehilangan penghasilan. Akhirnya St. penghulu meninggal dunia, disusl ibu Asnah yang meninggal karena sakit dada.
Asri adalah putra Ibu Mariati yang berbudi tinggi juga berpendidikan. Ia amat pandai dan rajin serta ringan tangan terhadap sesama, orang-orang yang bodoh tidak dijauhinya, melainkan didekatinya dan dipimpinnya. Jika orang mengalami kesulitan maka ia tak segan untuk membantu. Mengingat Asri tidak mempunyai adik, maka kehadiran Asnah sangat menghibur dan merupakan teman sekaligus sahabat dalam berbagai cerita, dan Asnah bagi Asri adalah tempat curahan isi hatinya yang paling dalam.
Pada bagian selanjutnya diceritakan bahwa Asri sering pergi bersama ibunya dan Asnah. Yang kerap kali didatanginya adalah “Rumah Berukir” di negeri, rumah kemenakan Tuanku Laras pension. Di situ ada seorang anak laki-laki dan dua orang perempuan. Si sulung bernama Rusiah sudah menikah dengan Sutan Sinoro, yang kedua bernama Kaharuddin dan Asri adalah sahabat dari Kaharuddin, sedang anak yang bungsu adalah Saniah dan elok sekali parasnya.
Semua orang di rumah berukir itu sangat teguh memegang adat kebesarannya. Rangkayo Saleah adik dari Tuanku Laras adalah ibu dari ketiga anak tersebut. Semenjak kecil sudah terbiasa disembah dan dimuliakan orang. Lebih-lebih setelah menjadi istri Datuk Indomo, seorang penghulu kenamaan dan kaya, maka semakin sombong dan menganggap orang lain rendah di matanya. Dari sering bermain dengan sahabat akhirnya Asri jatuh cinta pada Saniah dan menjadikan istrinya.
Setelah menjadikan Saniah istrinya, kebahagiaan yang diharapkan dapat berjalan dengan lancar sebagaimana yang dialaminya dahulu ternyata tidak dapat diperolehnya, bahkan terjadi permasalahan yang baru, mengingat latar belakang atau pola pendidikan yang berbda antar individu tersebut, akibatnya dalam rumah tangga selalu diwarnai rasa cemburu dan amarah hanya dikarenakan perbedaan kebiasaan sehari-hari, lebih-lebih jika menyangkut soal tata cara bergaul dan derajat sesame manusia, penyelesaiannya selalu menemui jalan buntu, tidak ada penyelesaian yang jelas. Sosok Saniah adalah seorang yang berkarakter sombong, angkuh, manja, dan mementingkan diri sendiri dan memandang rendah adat isitiadat orang kampong biasa dan amat senang beradat bangsawan. Padahal Asri mendambakan seorang istri yang pandai menghargai dirinya, pandai membawa perangainya, dan pandai pula menawan hatinya, sehingga ia tak usah lagi mencari tempat hati pada ikhwani yang lain dan benda yang dicari Asri tak ditemukan pada diri Saniah itu.
Dalam kehidupan rumah tangga Asri danSaniah, tidaklah sebahagia yang diharpkan karena perbedaan derajat dan pola pendidikan kaum bangsawan yang kaku masih terbawa oleh Saniah, sekalipun sudah berkali-kali diingatkan oleh Asri dan Asri pun tak pernah berputus asa selalu berharap pada Saniah agar menghanyutkan adatnya yang kaku ke lautan yang besar, serta mempelajari sungguh-sungguh peri keadaan hidup dimana mereka tingal terutama pula dalam kehidupan bermasyarakat agar hati Saniah dapat menaruh belas kasihan terhadap sesama manusia.
Demikian pula dengan hati Ibundan Asri sangat resah dan susah memikirkan perkawinan antara Asri dan Saniah, kesombongan menantunya hamper tak dapat dirasakan betapa pedih hati ibu Mariati dan yang lebih memperihatinkan lagi adalah hubungan dengan masyarakat telah putus, karena tak seorangpun berani atang ke rumah “Gedang” tersebut untuk bermusyawarah, juga karena menantunya Saniah, Asri dijauhi orang.
Hal yang sama juga dialami oleh Asnah, adik angkat Asri ia menjadi tempat sampah bagi kemarahan dan sakit hati Saniah, walaupun demikian ia tidak pernah mengadu dan tidak pernah keluar dari mulutnya kesedihan yang ada di hatinya.
Permasalahan-permasalahan yang tak kunjung ada penyelesaiannya membuat Ibu Mariati menderita sakit yang bertambah parah, hingga membuatnya meninggal dunia.
Setelah kepergian orang tua angkat, Asnah menjadi sangat sedih, seolah-olah tempatnya berpijak hilang sudah. Namun, dengan tiba-tiba datang suatu kebahagiaan yang kata orang patut di dapat oleh Asnah, yaitu kehadiran Engku Hasan Basri yang mempunyai maksud untuk memperisitri Asnah, tetapi oleh Asnah ditolaknya karena hati Asnah sudah telanjur jatuh cinta pada saudara angkatnya yaitu Asri.
Untuk menjaga kehormatan dan aib, maka Asnah mohon ijin kepada Asri untuk pergi dari rumah di mana Asri tinggal, lebih-lebih Asripun mulai berani berterus terang kepada Asnah bahwa dia (Asri) juga mencintai Asnah.
Semenjak kepergian Asnah, rumah Gedang itu laksana gua yang sunyi dan gelap rupanya. Saniah juga semakin teranja-anja dan congkak, jangankan Saniah memperlihatkan ksaih sayangnya kepada suaminya, melainkan kiasan dan sindirannya semakin berapi-api dan lidahnya semakin lebih tajam dari pisau. Cacat dan cela selalu dilakukan untuk menyakiti hati Asri. Jika Asri terpekur, dikatakannya teringat kepada kekasihnya, kalau terlambat pulang dari kantor dituduhnya singgah dahulu kepada tambatan hatinya. Dan kalau sudah di rumah tidak boleh keluar lagi sekalipun keluar untuk sholat di masjid. Jika hari libur atau hari Ahad maka dicarinya akal agar suaminya tidak keluar rumah seorang diri dengan mengajaknya berkunjung ke rumah saudaranya Rusiah atau mengajak Asri berjalan-jalan untuk membeli perlengkapannya. Bagi Asri mula-mula hal demikian tidaklah bermasalah asalkan keamanan dan kesenangan serta kebehagiaan dapat diperolehnya, tetapi harapannya sia-sia bahkan rumah tangganya bagai neraka, sehingga dia ingin mencarihiburan di luar rumah yang dapat mendatangkan manfaat buat masyarakat, hingga didirikannya koperasi, rumah bersalin, bahkan Asri juga pimpinan sekolah partikulir. Asri senang bukan main karena telah memperoleh kepercayaan dari masyarakat sesuai dengan cita-cita yang telah kandas. Tidak heran hal demikian semakin memperkeruh suasanan yang terjadi dalam rumah tangganya, karena Saniah merasa tidak dipedulikannya lagi, hingga membuat Saniah nekat pergi ke rumah bundanya tercinta tanpa sepengetahuan suaminya.
Setelah sampai di rumah orang tua Saniah, diajaknya Saniah bersama bundanya ke Padang untuk pergi ke rumah Kaharuddin dengan naik oto taksi yang melaju dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ketika oto taksi yang berjalan kencang sudah meninggalkan jauh tempat tinggal Saniah, tiba-tiba Saniah ingin berhenti sejenak melayangkan pandang ke daerah di mana dia danAsri tinggal, hati Saniah terharu sangat bersamaan dengan pemandangan gaib itu Nur Illahi pun seolah-olah menyinari hati Saniah hingga dia merasa betapa besar dosanya meninggalkan suami dengan cara yang demikian dan sempat berucap dalam hatinya “Ampun, kanda suamiku ………… aku sudah sesat menempuh jalan hidup, ampuni kesalahanku, dosaku, ya, kakanda.” Setelah itu oto taksi melanjutkan perjalan dengan sangat kencang laksana terbang, hingga pada sebuah tikungan yang amat besar sehingga dalam sekejap mata naik ke atas tambak jalan, terbalik, tunggang langgang dan masuk sungai yang kering airnya akibatnya kecelakaan itu ibunda Rangkayo Saleah meninggal di tempat kejadian, disusul dengan meninggalnya Saniah di rumah sakit tempat dia dirawat.
Setelah kematian Saniah, Asri membagikan segala pusaka milik istrinya ke pihak keluarga Saniah, dan sebagian diberikan ke masjid dan kepada fakir miskin. Untuk menghilangkan kesedihan hatinya, Asri mencari daya dan upaya untuk meninggalkan kampong halamannya agar perasaannya merasa aman, daripada makan hati berulam jantung, lebih baik aku berlarat-larat ke rantau orang, mungkin aku bernasib lebih baik.
Pada bagian akhir diceritakan bahwa Asri meniggalkan kampong halamannya untuk memenuhi harapannya yaitu menikah dengan Asnah saudara angkatnya yang asngat dicintainya. Dibantu dengan Ibu Mariah mencarikan seorang kadi yang alim yang berpegang kepada Al-Qur’an dan Hadist, karena secara agama Asri dan Asnah diperbolehkan menikah tetapi secara adapt dilarang, karena sesuku.
Setelah menikah dengan Asnah, Asri membawanya pergi merantau ke negeri orang, walaupun tidak sekaya di negeri sendiri, tetapi hati Asri merasa bahagia dan benar-benar menikmati kehidupan berumah tangga. Asnah sungguh-sungguh kawan sejati bagi Asri, baik dalam suka maupun duka, sehingga Asri menyadari bahwa di dulu salah pilih, apabila teringat akan masa lampau itu.
Setahun lebih Asri merantau ke jawa, banyak sesuatu yang mereka peroleh, sehingga pendangannya akan segala macam suku dan bangsa bertambah luas dan pikirannya bertambah tajam.
Dan pada akhir cerita, bahwa Asri mendapat surat dari negerinya dan disuruh pulang untuk diangkat menjadi kepala negeri, dan semua tokoh masyarakatak berjanji memperbaiki dan mengharumkan nama Asri dan Asnah sebagai pasangan ideal suami istri, tentu saja hal itu disambut dengan suka cita, lebih-lebih dapat melanjutkan cita-citanya yang terbengkalai
0 coment�rios: