2. 1 Pengertian Sudut Pandang
Dalam penggunaan istilah sudut pandang (Point of view), sering kali tidak jelas apa yang diacunya. Ada yang mengartikan sudut pandang pengarang ada juga yang menggunakan dengan arti sudut pandang pencerita. Adapula yang menganggap keduanya sama saja karena pengarang dan pencerita tidak dibedakannya.
Istilah sudut pandang (point of view) dijelaskan Perry Lubbock dalam bukunya the Craft of Fiction. Menurut Lubbock, point of view mengandung arti hubungan antara tempat pencerita berdiri dan ceritanya. Dia ada di dalam atau di luar cerita? hubungan ini ada dua macam, yaitu hubungan pencerita diaan dengan ceritanya, dan hubungan pencerita akuan dengan ceritanya (Lubbock,1965, 251-257).
Sudut pandang adalah pilihan pengarang dalam menggunakan tokoh cerita. Sudut pandangan atau Point of View yang oleh S. Tasrif,S.H. dalam buku Teknik Mengarang, Korrie Layun Rampan (1983:29) dijelaskan bahwa point of view digunakan pengarang untuk memilih dari sudut mana ia akan menceritakan ceritanya. Apakah sebagai orang di luar saja, atau apakah pengarang juga akan turut dalam cerita itu. Menurut A. Bakar Hamid dalam tulisannya “Sudut Pandangan” adalah teknik untuk mengemukakan cerita dengan meyakinkan dan pengarang dapat menggunakan teknik ini untuk menekankan hal-hal yang dianggapnya penting dan menyambillalukan hal-hal yang dianggap sebagai sampingan saja.
Sudut pandang menurut Albertine Minderop (2005:88) pada dasarnya merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja dipilih pengarang untuk mengungkapkan gagasan dan ceritanya untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan yang semua ini disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Apa yang disampaikan melalui sudut pandang berisi kandungan yang lebih dalam dan luas daripada apa yang terkandung di dalam sudut pandang itu sendiri. Penggalian ini tentunya tergantung pada kemampuan pembaca melakukan reading behind the lines suatu karya sastra.
Dari beberapa pendapat di atas dapat di artikan bahwa Istilah sudut pandang yang dalam bahasa Inggris point of view atau view point merupakan: suatu posisi di mana si pencerita berdiri, dalam hubungan dengan ceritanya, yakni sudut panang dimana peristiwa diceritakan.
Pada umunya para analis sastra cenderung berupaya memahami ide atau gagasan pengarang yang ingin disampaikan pengarang atau dengan kata lain mencari tema suatu kisahan. Untuk memahami tema ini ada berbagai unsur sastra yang perlu ditelaah. Unsur-unsur tersebut antara lain : tokoh, perwatakan, alur, latar, motivasi, simbol, ironi dan tragedi semua ini dinamakan unsur-unsur intrinsik. Selain unsur-unsur dimaksud terdapat pula unsur-unsur ekstrinsik. Untuk analisis unsur terakhir ini biasanya dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan, misal pendekatan: sosiologi atau psikologi atau filsafat dan sebagainya. Tulisan ini mencoba menyampaikan bagaimana unsur-unsurintrinsik terutama perwatakan tokoh dapat ditelaah melalui teori sudut pandang.
Dalam sudut pandang terdapat beragam variasi dan kombinasi, namun ada tiga varian mendasar yang berbeda sudut pandang impersonal, orang ketiga, dan orang pertama, serta sudut pandang dramatik. Sudut pandang impersonal adalah bila si pencerita berdiri di luar cerita dan bergerak secara bebas dari satu tokoh ke tokoh lainnya, suatu tempat ke tempat lainnya, satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses terhadap pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Sudut pandang orang ketiga, si pengarang memilih seorang tokoh dan cerita, dengan demikian si tokoh menyampaikan visinya sendiri; sedangkan sudut pandang dengan pencerita orang pertama, cerita disampaikan oleh orang pertama sebagai salah satu tokoh dalam cerita. Sudut pandang dramatik adalah bila cerita tidak disampaikan oleh siapapun melainkan melalui dialog dan lakuan. Ketidakhadiran si pencerita digantikan oleh percakapan, ucapan dan tingkah laku para tokoh.
Sudut pandang dalam kesustraan ada pula yang mencakup sudut pandang fisik, mental, dan pribadi. Sudut pandang fisik adalah posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pencerita dalam pendekatan materi cerita. Sudut pandang mental yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita. Sudut pandang pribadi ialah hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan cerita sebagai orang: pertama, kedua dan ketiga.
Pencerita menyampaikan cerita dari sudut pandangnya sendiri. Pencerita yang berbeda memiliki sudut pandang yang berbeda pula, dan sudut pandang yang berbeda itu menghasilkan versi cerita yang berbeda. Contoh di bawah ini hendak menjelaskan bahwa sudut pandang yang berbeda menghasilkan versi yang berbeda pula dari cerita atau peristiwa yang sama.
Sebuah bajai bertabrakan dengan sebuah mobil mercy Tiger di pintu masuk kampus Rawamangun. Pengemudi Mercy melaporkan kepada polisi versi dia tentang kejadian tersebut, “Saya membelok ke kiri memasuki kampus, dan tiba-tiba saja ada bajaj yang berhenti tepat di depan mobil saya. Meskipun saya sudah banting setir ke kiri, tabrakan tidak dapat saya hindarkan.” (Pengemudi mobil mercy dalam hal ini adalah pencerita akuan sertaan). Dari anggota Satpam yang berdinas di situ, polisi menerima laporan yang berbeda bunyinya, “Saya melihat datangnya Mobil Mercy dari arah kantor pos membelok masuk kampus. Memang ada sebuah bajaj yang berjalan pelan-pelan di situ. Jika sopir Mercy tidak ngebut, pasti dia sempat menginjak rem atau menikung lebih ke kiri.” (Anggota Satpam di sini menggunakan sudut pandang seorang pencerita akuan taksertaan). Seorang wartawan meliput kecelakaan itu dan menyususn berita untuk surat kabarnya. Dipaparkannya secara lugas bagaimana mobil Mecy itu berjalan kencang, bagaimana bajaj itu tiba-tiba mengalami kerusakan mesin, reaksi para penumpang, dan kedua sopir, serta tentang polisi yang datang ke tempat kejadian itu. (Wartawan menggunakan sudut pandang seorang pencerita diaan yang tidak terlibat dalam peristiwa itu dan memberikan laporan tanpa memasukkan unsur emosi atau penilaian subjektif ke dalamnya). Seorang ibu membacakan berita dalam surat kabar tentang kecelakaan itu kepada anaknya yang remaja, dan disana-sini dia menambahkan komentarnya; misalnya, “Mau kuliah saja naik Mercy!”. “Makanya jangan suka ngebut, apalagi di tikungan!”. “Masih untung tidak ada yang meninggal” (Secara keseluruhan kisahannya menjadi kisahan seorang pencerita diaan serba tahu yang memasukkan unsur emosi dan penilaian sebjektifnya ke dalam kisahannya). Seorang mahasiswa ikut merasakan kemalangan yang menimpa sopir bajaj itu; tergugah hatinya hendak mengarang cerpen. Dalam cerpen itu ia menggunakan sudut pandang si sopir bajaj. Tentang tokoh-tokoh yang lain penvceritanya terbatas kepada apa yang dapat diamati dari sudut tokoh sopir bajaj; ia tidak dapat menembusi pikiran dan perasaan tokoh-tokoh yang lain. Akan tetapi, tentang sopir bajaj ia tahu segala-galanya, dan dengan bebas ia bercerita tentang apa yang dialami, dipikirkan, dan dirasakan tokoh ini. “Ia tahu, ia pasti harus menebus kecelakaan ini. Potong gaji untuk reparasi. Selana berapa bulan ? pada hal hutang istrinya di warung masih menggunung.”
Ternyata penggunaan sudut pandang yang berbeda menghasilkan versi yang berbeda dari peristiwa atau rentetan peristiwa yang sama, dan menyajikan rincian yang berbeda dari peristiwa yang sama. Cerita siapa yang paling dekat dengan kebenaran, bukanlah tugas pengkaji sastra menilainya. Di samping itu, keterlibatan pencerita ikut menentukan derajat keobjektifan pandangannya.
Sesungguhnya yang mengetahui keseluruhan cerita hanyalah pengarang cerita itu sendiri. Akan tetapi, dalam menyajikan ceritanya ia harus menentukan sudut pandang; ia harus menentukan dari sudut mana (atau siapa sebaiknya cerita itu dihidangkan. Pemilihannya itu didasarkan faktor-faktor tertentu, seperti suasana cerita, kategori atau jenis ceritanya, serta maksud tujuan cerita. Ditinjau dari segi penangkapan dan pemahaman cerita oleh pembaca, relevansinya dengan sifat cerita itu sendiri, dan keakraban hubungan antara pencerita, cerita, serta pembaca, setiap pilihan sudut pandang ada baik dan buruknya.
2.2 Sudut Pandang dan Fokus Pengisahan
Cleanth Brooks Jr. dalam bukunya Understanding Fiction (1943) tegas-tegas menyatakan bahwa satu istilah dengan dua makna membingungkan. Karena itu, ia menyarankan agar point of view digunakan untuk menyatakan gagasan atau sikap batin pengarang yang dijelmakan di dalam karya sastranya.
Adapun jika berbicara tentang siapa yang mengamati peristiwa dan menyampaikan cerita, sebaiknya digunakan istilah fokus pengisahan atau focus of narration (Brooks, 1943:588-589). jadi menurut Brooks, point of view bertautan dengan pengarang, bertalian dengan pendidikannya, keadaan sosialnya, moral masyarakat semasa karya itu di ciptakan; pendeknya dengan hal-hal diluar karya sastra itu sendiri. Adapun focus of narration bertautan dengan pencerita dan kisahannya.
Brooks kemudian membedakan empat perwujudan fokus pengisahan, yaitu :
1. Tokoh utama menyampaikan kisah diri, jadi, kisahan oleh tokoh utama dengan sorotan pada tokoh utama.
2. Tokoh bawahan menyampaikan kisah tentang tokoh utama. Jadi, kisahan oleh tokoh bawahan dengan sorotan pada tokoh utama.
3. Pengarang pengamat (observer-author) menyampaikan kisah; sorotan terutama pada tokoh utama ;
4. Pengarang serba tahu (omniscient author) menyampaikan kisah dari segala sudut; sorotan utama pada tokoh utama (1943:588-594).
Dari pembagian ini nampak bahwa Brooks dalam hal pencerita diaan tidak membedakan pengarang dan pencerita.
Sesungguhnya, sudut pandang/point of view dan fokus pengisahan mempunyai titik tolak yang berbeda: berbicara tentang sudut pandang, orang bertolak dari penceritanya, yaitu tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita atau posisi pencerita dalam membawakan kisahan (Sudjiman, 1986:72); dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahannya, dari sudut mana pencerita memandang persoalan dalam cerita. Adapun berbicara tentang fokus pengisahan, orang bertolak dari tokoh: tokoh mana yang disoroti pencerita. Tokoh mana yang menjadi pusat perhatian, pusat sorotan, atau fokuspengisahan si pencerita (Sudjiman, 1986:29).
Mengikuti pembagian atau perbedaan Brooks terhadap perwujudan fokus pengisahan itu, jelaslah bahwa tokoh yang menjadi pusat sorotan atau fokus pengisahan adalah tokoh utama cerita itu. Ini berarti bahwa dalam cerita yang disampaikan seorang tokoh (pencerita akuan), belum tentu tokoh yang bercerita itu tokoh utamanya. Dalam novel Nh. Dini Namaku Hiroko (1977) tokoh utamanya memang Hiroko; namun, bukan karena tokoh ini yang menjadi pencerita akuan, melainkan karena tokoh ini yang disoroti dalam pengisahan (Sudjiman, 1986:29).
Di dalam novel Bur Rasuanto Tuyet (1978), ada juga pencerita akuan, yaitu Alimin. Cerita diksahkan dengan menggunakan sudut pandang Alimin. Akan tetapi, yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan Alimin itu bukan dirinya sendiri. Berbeda dengan Hiroko, Alimin tidak menjadikan dirinya pusat atau fokus pengisahan. Tuyetlah yang disorotinya. Dengan demikian Tuyet tokoh utama dalam novel itu.
Dalam hubungan ini patut dicatat bahwa dalam sebuah karya sastra dengan lebih dari seseorang pencerita-jadi, lebih dari satu sudut pandang-fokus pengisahan tetap pada tokoh yang diutamakan. Dalam novel Raumanen (Katoppo, 1977), misalnya, ada tiga orang pencerita: pencerita akuan yang bernama Manen dalam bab-ban yang berjudul “Manen”, pencerita akuan seorang lagi yang bernama Monang yang berkisah dalam bab-bab berjudul “Monang”, dan seorang pencerita diaan takbernama yang menyampaikan kisahan dalam bab-bab yang tak berjudul melainkan bernomor satu sampai sebelas. Ketiga pencerita ini menggunakan sudut pandang masing-masing dalam berkisah. Jadi, cerita itu dibawakan berganti-ganti dari sudut pandang yang berbeda-beda. Akan tetapi, ketiga-tiganya menyoroti tokoh yang sama, yaitu Manen. Manen menjadi pusat sorotan atau fokus pengisahan dalam novel ini. Manenlah tokoh utama novel ini.
Hubungan sudut pandang dengan pencerita tidak dapat dipisahkan bila si pengarang harus menggunakan pencerita atau narrator dengan sudut pandangnya dalam menyampaikan kisah. Si pencerita adalah orang yang menyampaikan cerita dan dapat selaku tokoh dalam ceritera atau tidak terlibat di dalam cerita. Biasanya si pencerita sebagai tokoh bawahan di dalam ceritera. Si pencerita bias berada di dalam atau di luar cerita, artinya pencerita bias sebagai tokoh dalam cerita atau tidak sebagai tokoh.
Plato dan Aristotle membedakan tiga jenis pencerita : pertama : penutur atau penyair yang menggunakan suaranya sendiri ; kedua, seseorang yang menggunakan suara orang lain dan berbicara dengan tidak menggunakan suaranya sendiri, terakhir, seseorang yang menggunakan perpaduan suaranya dan suara orang lain. Siapa saja yang menyampaikan cerita, bisa sebagai pencerita; kemudian memperkenalkan seorang pencerita yang menyampaikan cerita dengan menggunakan beberapa tokoh yang bergantian menggunakan suara masing-masing. T.S. Eliot membedakannya menjadi: pertama, suara si penyair yang bercakap pada dirinya sendiri. Kedua, suara penyair yang ditujukan kepada audiens. Ketiga, suara si penyair yang disampaikan bila ia ingin mengungkapkan ucapan tokoh secara dramatis dalam suatu ungkapan (Cuddon, 1979:416).
Pencerita dapat dibedakan menjadi pencerita “akuan” sertaan dan “akuan” tak sertaan; selain itu, ada pula “diaan” terbatas dan “diaan” mahatahu, tetapi untuk maksud di atas ini ada pula yang menggunakan istilah sudut pandang “akuan” dan sudut pandang “diaan”. Dalam sudut pandang, selain istilah pencerita ada juga yang menambahkan istilah pencerita “akuan” dan pencerita “diaan”.
Pencerita “akuan” digunakan bila pencerita merupakan salah satu tokoh dalam ceritera yang dalam menyampaikan ceritera mengacu kepada dirinya sendiri dengan menggunakan kata “aku”. Pencerita seperti ini disebut pencerita “akuan” sertaan karena ia terlibat langsung dengan berbagai peristiwa di dalam cerita. Pencerita “akuan” tak sertaan adalah bila si pencerita tidak terlibat langsung dalam peristiwa di dalam ceritera.
Pencerita “diaan” digunakan bila si pencerita berada di luar ceritera. Pencerita “diaan” mahatahu adalah pencerita yang sangat mengetahui berbagai perasaan, pikiran, angan-angan, keinginan, niat dan sebagainya dari tokoh yang diceriterakan. Pencerita “diaan” terbatas adalah pencerita yang hanya memaparkan segalanya yang diamatinya dari luar dan tokohnya pun kadang kala terbatas. Masalah teknik pencerita “diaan” terbatas ada perbedaan pendapat tentang hal ini. Ada pakar yang mengatakan yang dimaksud dengan pencerita “diaan” terbatas adalah, pertama, keterbatasan tokoh yang dikisahkan oleh si narrator; kedua, adanya keterbatasan narrator memahami watak tokoh yang diceriterakannnya. Terdapatnya keterbatasan memahami watak ini membuat pengarang menggunakan teknik arus kesadaran tokoh melakukan percakapan pada dirinya sendiri dan narrator membiarkannya melakukan percakapan batin tersebut. Melalui cara ini pembaca dapat memahami watak tokoh tersebut.
Selain pencerita terdapat pula komentar pencerita, yaitu bila si pencerita, selain berceritera, juga menyampaikan komentar terhadap apa yang dikisahkannya. Komentar pencerita bisa langsung menyampaikan komentarnya kepada pembaca atau menujukannya kepada tokoh dalam ceritera. Adapun komentar ceritera yang secara tidak langsung ditujukan kepada pembaca walaupum maksud sebenarnya ditujukan kepada pembaca.
DOWNLOAD SELENGKAPNYA
0 coment�rios: